Tata' Mandong
Berdiam di Lembah Ramma, tempat yang jauh dari desa terakhir di kaki gunung, Desa Lembanna. Mencapai Lembah Ramma dari Lembanna, hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, selama kurang lebih lima jam. Medan jalur yang dilalui boleh dikata sangat berat, sempit dengan apitan pepohonan pinus di kedua sisinya. Tempat terpencil itu sebuah lembah yang dikelilingi bukit dan jejeran puncak-puncak Gunung Bawakaraeng.
Namanya Tata Mandong. Berusia kurang lebih 50 tahun. Dalam 30 tahun terakhir, ia telah mendedikasikan hidupnya menjaga kelestarian alam Gunung Bawakaraeng. Setiap hari Tata Mandong melakukan aktivitas menanam bibit pohon di kawasan-kawasan curam gunung purba itu. Bibit pohon yang ditanamnya, antara lain Mahoni, Jati, dan pohon-pohon jenis keras lainnya. Sebelum ditanam, bibit-bibit itu disemai di sekitar rumahnya. Tata Mandong tak ingat persis berapa jumlah bibit yang sudah ditanamnya. Namun, ia menyebutkan kisaran ribuan batang pohon.
Sebagai bentuk balasan dari hasil jerih payahnya ini, ia mendapat honor dari Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa, sebesar Rp150.000 per bulan. Jumlah itu tentu saja tak mencukupi. Namun menurut pengakuan Tata Mandong, untuk kebutuhan hidupnya, seperti pakaian dan makanan, seringkali diberikan oleh para pendaki yang kebetulan singgah bermalam di rumahnya. Namun jika kebutuhannya sangat mendesak, sekali dalam sepekan, Daeng Mandong pergi berbelanja ke pasar Malino.
Selain menanam bibit pohon, ia menghabiskan malam harinya dengan bercengkrama bersama para pendaki, yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok pecinta alam. Ia seringkali memberi nasihatnya kepada para anak-anak muda itu, agar tetap menjaga kebersihan lingkungan dan sikap diri, selama melakukan pendakian.
Di pagi hari, sebelum menyemai bibit-bibit pohonnya, Tata Mandong memiliki kebiasaan naik ke puncak Talung, daratan tertinggi di lembah Ramma. Dari situ, ia memperhatikan jejeran puncak gunung untuk melihat gejala alam yang terjadi. “Dari Talung, kita bisa lihat hampir semua bekas longsoran Bawakaraeng. Kita juga bisa lihat arah longsoran itu,” ujarnya.
Tata Mandong mengatakan, dirinya tak akan pernah lupa peristiwa longsor di hari Jumat sekitar pukul 14.00 wita, 26 Maret 2004 lalu. Ratusan warga Kampung Lengkese, Desa Manimbahoi, Kecamatan Tinggimoncong, Malino sedang bertani di sawahnya. 32 orang di antaranya tewas tertimbun. Reruntuhan lumpur itu juga menerjang ratusan hektar sawah, rumah serta gedung sekolah.
Saat itu, warga Kampung Lengkese baru saja usai menunaikan shalat Jumat. Sebagian besar laki-laki langsung ke sawah sepulangnya ke rumah. Sebagian lainnya membawa ternak sapi merumput dan sebagian beristirahat atau makan siang lebih dulu di rumah. Menggarap sawah sangat dirindukan warga. Maklum, sekitar dua minggu hujan lebat turun. Karena itu, Jumat yang cerah itu tak ingin mereka sia-siakan, apalagi tanaman padi mereka menjelang panen.
Tak satu pun menduga bahwa sebentar lagi kampung, sawah, kebun, ternak, bahkan keluarga yang mereka cintai dan diri mereka sendiri bakal tertimpa tanah longsor. Tak ada tanda-tanda awal yang biasanya diisyaratkan alam. Ada sedikit tanda, berupa tanah berjatuhan sedikit-sedikit dari tebing, tetapi belum sempat terbaca. Bahkan berselisih hitungan menit sebelum akhirnya kaki hingga sebagian dinding Gunung Bawakaraeng runtuh dan meluluhlantakkan semuanya.
Desa Manimbahoi berada di ngarai, tepat di kaki Gunung Bawakareang, dan di sisi kiri dan kanan hulu Sungai Jeneberang. Menurut Tata Mandong, ia merasa sedih, karena tak mampu dengan cepat memberitahu warga desa. Gerakan cepat kakinya menuju Desa Manimbahoi, dipotong oleh derasnya longsor yang memiliki panjang 30 kilometer dan ketebalan hingga 400 meter itu. Sebelum peritiwa itu terjadi, ia mendengar suara ledakan yang sangat keras. Diduganya, suara ledakan itu berasal dari tebing gunung bagian bawah yang patah.
Komitmen Tata Mandong begitu kuat. Ia rela meninggalkan desanya, Desa Takappala, dan memilih bertempat tinggal di Lembah Ramma, untuk menjaga totalitas kepeduliannya terhadap lingkungan. Tata Mandong bercerita, saat itu, 10 tahun lalu, ratusan warga desa mengantarnya ke tempat tinggal yang baru. Bahkan, rumah panggung miliknya juga ikut di boyong, setelah sebelumnya dibongkar dan dipisah-pisahkan.
Rumah panggung itu berukuran empat kali tiga meter. Di dalamnya, terdapat tiga buah ruangan. Ruang tamu yang menyatu dengan dapur, serta sebuah ruang tidur berukuran dua kali satu meter. Jika Tata Mandong memasak sesuatu, asap perapiannya memenuhi rumah dan mengepul keluar dari lubang-lubang di dinding papan yang rapuh.
Tinggi rumah panggung tidak seberapa. Lantainya, yang terbuat dari papan sedikit tebal, hanya berjarak sekitar semester dari tanah. Namun, ruang itu cukup bagi tiga ekor anjing miliknya, yang sudah dipeliharanya sejak 10 tahun lalu. Binatang-binatang itulah, yang selalu menemani Daeng Mandong dan menjaganya dari serbuan babi hutan, yang kadang menyerang rumah di malam hari.
Kelompok pencinta alam yamg mendaki Gunung Bawakaraeng menjadi sahabat Tata Mandong
Dari lembah itu, Tata Mandong juga mengawasi aktivitas para peternak di lereng-lereng gunung. Kadang, ia membantu peternak yang merupakan warga dari sejumlah desa yang ada di sekitar kaki gunung, menambatkan binatang ternaknya dan memberikan makan. Sosok TataMandong sangat berarti bagi warga desa. Karena ia menjadi pemberi informasi awal bagi para warga di sekitar kaki gunung, jika terjadi gejala alam yang membahayakan jiwa mereka. Dari informasinya itulah, warga memutuskan apakah akan tetap melakukan kegiatan bertani dan berternak, atau tidak.
Selain warga desa, Tata Mandong juga ternyata menjadi Rescue Team dadakan, jika ada diantara pendaki Gunung Bawakaraeng yang mengalami musibah.
Para pendaki itu sering memanggil Daeng Mandong dengan sebutan Tata’, Bahasa Makassar yang artinya Bapak. Sebutan itu, diartikan sebagai sapaan penghormatan mereka kepada Daeng Mandong.
***
Tata Mandong bercerita, selain kondisi Gunung Bawakaraeng, masih ada satu hal lagi yang mengganjal pikirannya. Meski sudah 10 tahun, ia masih memikirkan keberadaan istri dan anaknya. Tahun 1986 lalu, Tata Mandong harus menerima kenyataan pahit. Sang istri, Maniah, menuntut cerai suaminya itu, karena tak tahan dengan kondisi kemiskinan yang dialami keluarga mereka.
Gaji dari pekerjaan Tata Mandong sebagai penanam bibit pohon, tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. Maniah, akhirnya pergi dan membawa serta puteri semata wayang mereka, Fatimah, ke Makassar. Perpisahan itu, ternyata makin memompa semangat Tata Mandong. Di tahun yang sama, ia memutuskan pindah dari desanya di Desa Takappala, dan memilih hidup sendiri di Lembah Ramma.
Sampai saat ini, Tata Mandong tak mengetahui keberadaan mereka. Laki-laki itu, tetap menyimpan kerinduan. “Punna nakulle sallang, nia se’re wattu, lakuboya ngasengngi,” katanya. Yang artinya, kalau ada waktu saya ingin mencari mereka...
Namanya Tata Mandong. Berusia kurang lebih 50 tahun. Dalam 30 tahun terakhir, ia telah mendedikasikan hidupnya menjaga kelestarian alam Gunung Bawakaraeng. Setiap hari Tata Mandong melakukan aktivitas menanam bibit pohon di kawasan-kawasan curam gunung purba itu. Bibit pohon yang ditanamnya, antara lain Mahoni, Jati, dan pohon-pohon jenis keras lainnya. Sebelum ditanam, bibit-bibit itu disemai di sekitar rumahnya. Tata Mandong tak ingat persis berapa jumlah bibit yang sudah ditanamnya. Namun, ia menyebutkan kisaran ribuan batang pohon.
Sebagai bentuk balasan dari hasil jerih payahnya ini, ia mendapat honor dari Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa, sebesar Rp150.000 per bulan. Jumlah itu tentu saja tak mencukupi. Namun menurut pengakuan Tata Mandong, untuk kebutuhan hidupnya, seperti pakaian dan makanan, seringkali diberikan oleh para pendaki yang kebetulan singgah bermalam di rumahnya. Namun jika kebutuhannya sangat mendesak, sekali dalam sepekan, Daeng Mandong pergi berbelanja ke pasar Malino.
Selain menanam bibit pohon, ia menghabiskan malam harinya dengan bercengkrama bersama para pendaki, yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok pecinta alam. Ia seringkali memberi nasihatnya kepada para anak-anak muda itu, agar tetap menjaga kebersihan lingkungan dan sikap diri, selama melakukan pendakian.
Di pagi hari, sebelum menyemai bibit-bibit pohonnya, Tata Mandong memiliki kebiasaan naik ke puncak Talung, daratan tertinggi di lembah Ramma. Dari situ, ia memperhatikan jejeran puncak gunung untuk melihat gejala alam yang terjadi. “Dari Talung, kita bisa lihat hampir semua bekas longsoran Bawakaraeng. Kita juga bisa lihat arah longsoran itu,” ujarnya.
Tata Mandong mengatakan, dirinya tak akan pernah lupa peristiwa longsor di hari Jumat sekitar pukul 14.00 wita, 26 Maret 2004 lalu. Ratusan warga Kampung Lengkese, Desa Manimbahoi, Kecamatan Tinggimoncong, Malino sedang bertani di sawahnya. 32 orang di antaranya tewas tertimbun. Reruntuhan lumpur itu juga menerjang ratusan hektar sawah, rumah serta gedung sekolah.
Saat itu, warga Kampung Lengkese baru saja usai menunaikan shalat Jumat. Sebagian besar laki-laki langsung ke sawah sepulangnya ke rumah. Sebagian lainnya membawa ternak sapi merumput dan sebagian beristirahat atau makan siang lebih dulu di rumah. Menggarap sawah sangat dirindukan warga. Maklum, sekitar dua minggu hujan lebat turun. Karena itu, Jumat yang cerah itu tak ingin mereka sia-siakan, apalagi tanaman padi mereka menjelang panen.
Tak satu pun menduga bahwa sebentar lagi kampung, sawah, kebun, ternak, bahkan keluarga yang mereka cintai dan diri mereka sendiri bakal tertimpa tanah longsor. Tak ada tanda-tanda awal yang biasanya diisyaratkan alam. Ada sedikit tanda, berupa tanah berjatuhan sedikit-sedikit dari tebing, tetapi belum sempat terbaca. Bahkan berselisih hitungan menit sebelum akhirnya kaki hingga sebagian dinding Gunung Bawakaraeng runtuh dan meluluhlantakkan semuanya.
Desa Manimbahoi berada di ngarai, tepat di kaki Gunung Bawakareang, dan di sisi kiri dan kanan hulu Sungai Jeneberang. Menurut Tata Mandong, ia merasa sedih, karena tak mampu dengan cepat memberitahu warga desa. Gerakan cepat kakinya menuju Desa Manimbahoi, dipotong oleh derasnya longsor yang memiliki panjang 30 kilometer dan ketebalan hingga 400 meter itu. Sebelum peritiwa itu terjadi, ia mendengar suara ledakan yang sangat keras. Diduganya, suara ledakan itu berasal dari tebing gunung bagian bawah yang patah.
Komitmen Tata Mandong begitu kuat. Ia rela meninggalkan desanya, Desa Takappala, dan memilih bertempat tinggal di Lembah Ramma, untuk menjaga totalitas kepeduliannya terhadap lingkungan. Tata Mandong bercerita, saat itu, 10 tahun lalu, ratusan warga desa mengantarnya ke tempat tinggal yang baru. Bahkan, rumah panggung miliknya juga ikut di boyong, setelah sebelumnya dibongkar dan dipisah-pisahkan.
Rumah panggung itu berukuran empat kali tiga meter. Di dalamnya, terdapat tiga buah ruangan. Ruang tamu yang menyatu dengan dapur, serta sebuah ruang tidur berukuran dua kali satu meter. Jika Tata Mandong memasak sesuatu, asap perapiannya memenuhi rumah dan mengepul keluar dari lubang-lubang di dinding papan yang rapuh.
Tinggi rumah panggung tidak seberapa. Lantainya, yang terbuat dari papan sedikit tebal, hanya berjarak sekitar semester dari tanah. Namun, ruang itu cukup bagi tiga ekor anjing miliknya, yang sudah dipeliharanya sejak 10 tahun lalu. Binatang-binatang itulah, yang selalu menemani Daeng Mandong dan menjaganya dari serbuan babi hutan, yang kadang menyerang rumah di malam hari.
Kelompok pencinta alam yamg mendaki Gunung Bawakaraeng menjadi sahabat Tata Mandong
Dari lembah itu, Tata Mandong juga mengawasi aktivitas para peternak di lereng-lereng gunung. Kadang, ia membantu peternak yang merupakan warga dari sejumlah desa yang ada di sekitar kaki gunung, menambatkan binatang ternaknya dan memberikan makan. Sosok TataMandong sangat berarti bagi warga desa. Karena ia menjadi pemberi informasi awal bagi para warga di sekitar kaki gunung, jika terjadi gejala alam yang membahayakan jiwa mereka. Dari informasinya itulah, warga memutuskan apakah akan tetap melakukan kegiatan bertani dan berternak, atau tidak.
Selain warga desa, Tata Mandong juga ternyata menjadi Rescue Team dadakan, jika ada diantara pendaki Gunung Bawakaraeng yang mengalami musibah.
Para pendaki itu sering memanggil Daeng Mandong dengan sebutan Tata’, Bahasa Makassar yang artinya Bapak. Sebutan itu, diartikan sebagai sapaan penghormatan mereka kepada Daeng Mandong.
***
Tata Mandong bercerita, selain kondisi Gunung Bawakaraeng, masih ada satu hal lagi yang mengganjal pikirannya. Meski sudah 10 tahun, ia masih memikirkan keberadaan istri dan anaknya. Tahun 1986 lalu, Tata Mandong harus menerima kenyataan pahit. Sang istri, Maniah, menuntut cerai suaminya itu, karena tak tahan dengan kondisi kemiskinan yang dialami keluarga mereka.
Gaji dari pekerjaan Tata Mandong sebagai penanam bibit pohon, tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. Maniah, akhirnya pergi dan membawa serta puteri semata wayang mereka, Fatimah, ke Makassar. Perpisahan itu, ternyata makin memompa semangat Tata Mandong. Di tahun yang sama, ia memutuskan pindah dari desanya di Desa Takappala, dan memilih hidup sendiri di Lembah Ramma.
Sampai saat ini, Tata Mandong tak mengetahui keberadaan mereka. Laki-laki itu, tetap menyimpan kerinduan. “Punna nakulle sallang, nia se’re wattu, lakuboya ngasengngi,” katanya. Yang artinya, kalau ada waktu saya ingin mencari mereka...
0 komentar:
Posting Komentar