Piyu Design Original System

Piyu Sahabat Alam never stop exploring

Beranda




Selamat datang di Galeri Piyu Sahabat Alam. Di Blog ini sebagai tempat menampung kisah, dan memori tentang petualangan dan Kehidupan sehari-hariku...


Kisah Sangpetualang

Tata' Mandong

Tata' Mandong


Berdiam di Lembah Ramma, tempat yang jauh dari desa terakhir di kaki gunung, Desa Lembanna. Mencapai Lembah Ramma dari Lembanna, hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, selama kurang lebih lima jam. Medan jalur yang dilalui boleh dikata sangat berat, sempit dengan apitan pepohonan pinus di kedua sisinya. Tempat terpencil itu sebuah lembah yang dikelilingi bukit dan jejeran puncak-puncak Gunung Bawakaraeng.

Namanya Tata Mandong. Berusia kurang lebih 50 tahun. Dalam 30 tahun terakhir, ia telah mendedikasikan hidupnya menjaga kelestarian alam Gunung Bawakaraeng. Setiap hari Tata Mandong melakukan aktivitas menanam bibit pohon di kawasan-kawasan curam gunung purba itu. Bibit pohon yang ditanamnya, antara lain Mahoni, Jati, dan pohon-pohon jenis keras lainnya. Sebelum ditanam, bibit-bibit itu disemai di sekitar rumahnya. Tata Mandong tak ingat persis berapa jumlah bibit yang sudah ditanamnya. Namun, ia menyebutkan kisaran ribuan batang pohon.

Sebagai bentuk balasan dari hasil jerih payahnya ini, ia mendapat honor dari Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa, sebesar Rp150.000 per bulan. Jumlah itu tentu saja tak mencukupi. Namun menurut pengakuan Tata Mandong, untuk kebutuhan hidupnya, seperti pakaian dan makanan, seringkali diberikan oleh para pendaki yang kebetulan singgah bermalam di rumahnya. Namun jika kebutuhannya sangat mendesak, sekali dalam sepekan, Daeng Mandong pergi berbelanja ke pasar Malino.

Selain menanam bibit pohon, ia menghabiskan malam harinya dengan bercengkrama bersama para pendaki, yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok pecinta alam. Ia seringkali memberi nasihatnya kepada para anak-anak muda itu, agar tetap menjaga kebersihan lingkungan dan sikap diri, selama melakukan pendakian.

Di pagi hari, sebelum menyemai bibit-bibit pohonnya, Tata Mandong memiliki kebiasaan naik ke puncak Talung, daratan tertinggi di lembah Ramma. Dari situ, ia memperhatikan jejeran puncak gunung untuk melihat gejala alam yang terjadi. “Dari Talung, kita bisa lihat hampir semua bekas longsoran Bawakaraeng. Kita juga bisa lihat arah longsoran itu,” ujarnya.

Tata Mandong mengatakan, dirinya tak akan pernah lupa peristiwa longsor di hari Jumat sekitar pukul 14.00 wita, 26 Maret 2004 lalu. Ratusan warga Kampung Lengkese, Desa Manimbahoi, Kecamatan Tinggimoncong, Malino sedang bertani di sawahnya. 32 orang di antaranya tewas tertimbun. Reruntuhan lumpur itu juga menerjang ratusan hektar sawah, rumah serta gedung sekolah.

Saat itu, warga Kampung Lengkese baru saja usai menunaikan shalat Jumat. Sebagian besar laki-laki langsung ke sawah sepulangnya ke rumah. Sebagian lainnya membawa ternak sapi merumput dan sebagian beristirahat atau makan siang lebih dulu di rumah. Menggarap sawah sangat dirindukan warga. Maklum, sekitar dua minggu hujan lebat turun. Karena itu, Jumat yang cerah itu tak ingin mereka sia-siakan, apalagi tanaman padi mereka menjelang panen.

Tak satu pun menduga bahwa sebentar lagi kampung, sawah, kebun, ternak, bahkan keluarga yang mereka cintai dan diri mereka sendiri bakal tertimpa tanah longsor. Tak ada tanda-tanda awal yang biasanya diisyaratkan alam. Ada sedikit tanda, berupa tanah berjatuhan sedikit-sedikit dari tebing, tetapi belum sempat terbaca. Bahkan berselisih hitungan menit sebelum akhirnya kaki hingga sebagian dinding Gunung Bawakaraeng runtuh dan meluluhlantakkan semuanya.

Desa Manimbahoi berada di ngarai, tepat di kaki Gunung Bawakareang, dan di sisi kiri dan kanan hulu Sungai Jeneberang. Menurut Tata Mandong, ia merasa sedih, karena tak mampu dengan cepat memberitahu warga desa. Gerakan cepat kakinya menuju Desa Manimbahoi, dipotong oleh derasnya longsor yang memiliki panjang 30 kilometer dan ketebalan hingga 400 meter itu. Sebelum peritiwa itu terjadi, ia mendengar suara ledakan yang sangat keras. Diduganya, suara ledakan itu berasal dari tebing gunung bagian bawah yang patah.


Komitmen Tata Mandong begitu kuat. Ia rela meninggalkan desanya, Desa Takappala, dan memilih bertempat tinggal di Lembah Ramma, untuk menjaga totalitas kepeduliannya terhadap lingkungan. Tata Mandong bercerita, saat itu, 10 tahun lalu, ratusan warga desa mengantarnya ke tempat tinggal yang baru. Bahkan, rumah panggung miliknya juga ikut di boyong, setelah sebelumnya dibongkar dan dipisah-pisahkan.

Rumah panggung itu berukuran empat kali tiga meter. Di dalamnya, terdapat tiga buah ruangan. Ruang tamu yang menyatu dengan dapur, serta sebuah ruang tidur berukuran dua kali satu meter. Jika Tata Mandong memasak sesuatu, asap perapiannya memenuhi rumah dan mengepul keluar dari lubang-lubang di dinding papan yang rapuh.

Tinggi rumah panggung tidak seberapa. Lantainya, yang terbuat dari papan sedikit tebal, hanya berjarak sekitar semester dari tanah. Namun, ruang itu cukup bagi tiga ekor anjing miliknya, yang sudah dipeliharanya sejak 10 tahun lalu. Binatang-binatang itulah, yang selalu menemani Daeng Mandong dan menjaganya dari serbuan babi hutan, yang kadang menyerang rumah di malam hari.

Kelompok pencinta alam yamg mendaki Gunung Bawakaraeng menjadi sahabat Tata Mandong

Dari lembah itu, Tata Mandong juga mengawasi aktivitas para peternak di lereng-lereng gunung. Kadang, ia membantu peternak yang merupakan warga dari sejumlah desa yang ada di sekitar kaki gunung, menambatkan binatang ternaknya dan memberikan makan. Sosok TataMandong sangat berarti bagi warga desa. Karena ia menjadi pemberi informasi awal bagi para warga di sekitar kaki gunung, jika terjadi gejala alam yang membahayakan jiwa mereka. Dari informasinya itulah, warga memutuskan apakah akan tetap melakukan kegiatan bertani dan berternak, atau tidak.

Selain warga desa, Tata Mandong juga ternyata menjadi Rescue Team dadakan, jika ada diantara pendaki Gunung Bawakaraeng yang mengalami musibah.

Para pendaki itu sering memanggil Daeng Mandong dengan sebutan Tata’, Bahasa Makassar yang artinya Bapak. Sebutan itu, diartikan sebagai sapaan penghormatan mereka kepada Daeng Mandong.

***
Tata Mandong bercerita, selain kondisi Gunung Bawakaraeng, masih ada satu hal lagi yang mengganjal pikirannya. Meski sudah 10 tahun, ia masih memikirkan keberadaan istri dan anaknya. Tahun 1986 lalu, Tata Mandong harus menerima kenyataan pahit. Sang istri, Maniah, menuntut cerai suaminya itu, karena tak tahan dengan kondisi kemiskinan yang dialami keluarga mereka.

Gaji dari pekerjaan Tata Mandong sebagai penanam bibit pohon, tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. Maniah, akhirnya pergi dan membawa serta puteri semata wayang mereka, Fatimah, ke Makassar. Perpisahan itu, ternyata makin memompa semangat Tata Mandong. Di tahun yang sama, ia memutuskan pindah dari desanya di Desa Takappala, dan memilih hidup sendiri di Lembah Ramma.
Sampai saat ini, Tata Mandong tak mengetahui keberadaan mereka. Laki-laki itu, tetap menyimpan kerinduan. “Punna nakulle sallang, nia se’re wattu, lakuboya ngasengngi,” katanya. Yang artinya, kalau ada waktu saya ingin mencari mereka...

Medina Kamil

Medina Kamil






Bagi anda yang suka dengan Jejak Petualang TV7 tentu tidak asing lagi dengan Medina Kamil sang presenter. Kekayaan dan keindahan Indonesia yang teramat banyak terhambar ke seluruh penjuru Nusantara tidak pernah lepas dari jamahannya.

Ya, wanita cerdas berparas ayu ini telah keliling indonesia lho untuk meliput berbagai keindahan alam, budaya dan segala kemajemukan bumi Indonesia. Wanita ini boleh dikatakan tangguh, karena dengan jangkauan medan yang terkadang jauh ke pelosok dan sulit jangkauannya tidak pernah menyurutkan semangat wanita cantik ini. Saya sendiri kalau jadi dia mungkin menarik nafas panjang ketika harus menembus lautan dan hutan rimba.Hehehe…

Dengan kemampuan komunikasi yang menarik membuat kita tidak pernah bosan mendengarkan dia membawa emosi kita ikut berwisata dan mengagumi indahnya ciptaan Tuhan. Namun kadang ngeri juga ketika melihat mereka ini harus ikut memakan makanan khas daerah yang terkadang ekstrim.Hmmmm tapi mereka lahap dengan lezatnya.

Kemampuan mengabadikan kearifan lokal membuat acara ini tidak membosankan untuk di kunyah sampai menit terakhir. Keliling Indonesia gratis,hmmmmm siapa yang tidak mau. Tapi bagi yang jatuh cinta ma Medina Kamil harap pikir-pikir deh. Sebab kalian akan di tinggalkan jauh setiap hari.Hehehe ga ko Medina gwe akan selalu setia nungguin loe.

Riyani Djangkaru

Riyani Djangkaru

“Aku arungi seribu laut, aku daki sejuta gunung, demi satu KesempurnaanMu, tinggi diatas sana keagunganMu aku temui, di puncak-puncak dunia”

Anak pertama dari empat bersaudara ini mulai terkenal sejak menjadi presenter Jejak Petualang tayangan TV7 tahun 2002 – 2006. Riyanni semakin terkenal di pertengahan tahun 2005, karena virus dengan namanya menyebar dan menginfeksi banyak komputer.

Adalah seseorang yang bernama Riyani Djangkaru, lulusan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor ini sekarang masih bekerja di dunia pertelevisian meski tak lagi menjadi presenter “Jejak Petualang”. Riyanni terlihat di Trans 7 dalam “Redaksi Pagi” sebagai presenter “Jalan Pagi” serta Sportawa.

Awalnya wanita berdarah Garut dan Palembang ini ingin menjadi news presenter. Meski lowongan untuk presenter olahraga telah lewat, Riyanni tetap mengirimkan lamaran. Setelah menyisihkan ratusan orang, wanita dengan tinggi 168 cm ini pun didapuk menjadi presenter Jejak Petualang.

Riyanni menikah dengan Deni Priawan pada bulan Februari 2006. Dari pernikahan ini, mereka telah mempunyai seorang anak, Brahman Ahmad Syailendra.




She says :”adik-adiku yang manis!! calon penghuni hutan paling imut!”

Pekerjaan : Presenter Jalan Pagi Weekend (Sabtu-Minggu)
Hobby : Membaca dan Traveling
Favorit movie : Vertical Limit
Favorite TV Shows : Jejak Petualang – Selamat Pagi ( Trans 7)
Zodiac : Aquarius

Mengawali karir di dunia televisi. Jejak Petualang (JP) adalah sebuah program acara outdoor yang secara ekslusif menampilkan keanekaragaman budaya-alam Indonesia. Mendaki gunung (climbing), arung jeram (rafting) menyusuri gua terpencil (caving), menyelam (diving) dan mengikuti upacara adat, adalah suguhan utama dari JP ini.

She says :

“Pengenalan dan Penyatuan Jiwa dengan Alam adalah sebuah perjalanan paling berharga yang aku temui di Jejak Petualang” tuturnya dalam Fsnya.

Setelah TV7 ber-evolusi menjadi Trans7. JP mendapatkan porsi yang lebih banyak, dengan tayang setiap hari pukul 17:00 ( dahulu seminggu sekali). Karena kesibukan sebagai ibu rumah tangga baru. Aku tidak ikut lagi dalam petualangan di JP. tapi tetap didunia petualang. Jalan Pagi Weekend (Sabtu-Minggu) dalam salah satu segmen-nya.program wisata kota (rekreasi).. sedikit beda dengan JP, tapi lumayan mengurangi kerinduanku pada Jiwa Petualang …

Erik Weihenmayer

« pada: Desember 22, 2009, 08:17:42 »




Meskipun orang-orang mengatakan bahwa ia tidak akan pernah mampu melakukan hal-hal seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain, Erik Weihenmayer tidak memercayai vonis itu dan menolak hidup dengan keterbatasan-keterbatasan.Setelah bertarung dengan kebutaannya selama bertahun-tahun, Erik belajar untuk menerima hal itu dan membuatnya sebagai bagian ari kehidupannya. Ia berjuang untuk mengubah masalah menjadi berkat.

Pertama-tama ia bergabung dengan regu gulat di SMU, pernah menjadi apten danjuara gulat kedua di negara bagiannya. lalu diselingi dengan memanjat tebing,meyelam dan lainnya. Berikutnya Weihenmayer mengambil tantangan dengan mendaki gunung, sebuah hobi yang bahkan cukup sulit bagi orang-orang yang penglihatannya sempurna.

Pada tanggal 25 Mei 2001, Erik Weihenmayer menjadi satu-satunya orang tunanetra dalam sejarah yang dapat mencapai puncak gunung tertinggi di dunia, Puncak Everest. Pada tanggal 20 Agustus 2008, ketika ia berdiri di puncak gunung Carstenz Pyramid di Papua, puncak gunung tertinggi di belahan Austral-Asia, Weihenmayer menyelesaikan perjuangannya mendaki tujuh puncak gunung tertinggi di tujuh benua.

Erik hanya diikuti oleh kurang dari 100 orang pendaki gumung yang berhasil mencapai prestasi hebat ini. Tambahan pula, ia telah mendaki El Capitan, gunung batu monolit granit yang curam setinggi 3300 kaki di Yosemite,dan juga Lhosar,tebing air terjun dengan bekuan es setinggi 3000 kaki di daerah Himalaya, dan tebing batu curam yang paling sulit dan jarang didaki setinggi 17.000 kaki di Kenya.

Di dalam bulan September 2003, Erik bergabung dengan 320 bintang atlit dari 17 negara untuk berlomba pada Primal Quest, petualangan dalam berbagai jenis olahraga yang paling keras; 457 mil melalui Sierra Nevada, sembilan hari, 60.000 kaki di antaranya melewati daerah pegunungan, dan tidak ada waktu jeda.Dengan tidur hanya rata-rata dua jam perhari, Erik dan timnya menerobos masuk garis finis di Danau Tahoe, yang menjadi salah satu dari 42 tim yang mencapai garis finish dari 80 tim yang mengikuti start.

Setelah mencapai puncak Everest, sekolah "Braille Without Borders" bagi para tunanetra di Tibet mengundangnya untuk mengajar para murid untuk mendaki gunungdan tebing. Pengalamannya dalam banyak pendakian mendorong semangat para murid tunanetra itu untuk mencapai keunggulan di bidang yang jarang dimanfaatkan para tunanetra. Erik dan enam orang anggota tim Everestnya pergi ke Tibet di bulan Mei 2004 untuk melatih para murid di sekolah itu, kemudian di bulan Oktober di tahun yang sama ia mengajak dan memimpin mereka untuk mendaki Rombuk Glacier di bagian utara Puncak Everest.

Meskipun mereka tadinya termasuk orang Paria, para remaja tuna netra itu akhirnya berdiri bersama di ketinggian 21.500 kaki, lebih tinggi dari tim tunanetra manapun dalam sejarah. Steven Haft,produser film Dead Poet's Society dan film berkelas lainnya, mengabadikan pendakian para tunanetra itu dalam film dokumenter dan mengundang tepuk tangan kehormatan (standing ovation) dalam berbagai festival film di Toronto, LA dan London. Film itu telah diputar di bioskop pada tahun 2007 yang lalu.

Sebagai bekas guru SMU dan pelatih gulat, Erik merupakan salah satu atlet paling menakjubkan dan terkenal di dunia. Meskipun ia kehilangan penglihatannya di usia 13, Erik telah menjadi pendaki gunung,pemain paraglider, dan pemain ski, yang tidak pernah membiarkan kebutaannya menghalangi semangatnya untuk mencapai kehidupan yang luar biasa dan memuaskan.

Prestasi pendakian gunung Erik telah menganugerahinya dengan penghargaan ESPY, sebuah penghargaan dari majalah Time bagi seorang atlit terbaik di tahun 2001.Selain itu ia mendapatkan kehormatan ketika namanya diabadikan di "National Wrestling Hall of Fame", dan mendapatkan penghargaan ARETE untuk prestasi atlit luar biasa di tahun itu, ia juga meraih penghargaan "Helen KellerLifetime Achievement",dan penghargaan Casey Martin dari Nike, dan penghargaan "Freedom Foundation's Free Spirit". Ia juga diberi kehormatan untuk membawa obor Olimpiade musim panas dan musim dingin.

Selain menjadi atlit kelas dunia, Erik juga menjadi penulis buku "Touch the Top of the World", yang diedarkan di sepuluh negara dalam enam bahasa.Menurut Publisher's Weekly, buku kenangan Erik itu sangat menyentuh hati dan penuh petualangan yang luar biasa dan Erik mengisahkan kisah luar biasa itu dengan penuh humor, kejujuran dan rincian yang hidup, sehingga buku itu sangat memberi inspirasi dan dorongan semangat dan kekuatan. Buku itu juga
difilmkan dan ditayangkan di bulan Juni 2006.

Buku Erik yang kedua, "The Adversity Advantage: Turning Everyday Struggles Into Everyday Greatness" yang ditulis bersama penulis laris dan guru di bidang bisnis, Dr. Paul Stoltz, telah diedarkan di bulan Januari 2007 dan di terjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Gramedia. Melalui keahlian Paul di bidang ilmu Pengetahuan dan pengalaman Erik, buku itu membagikan tujuh "puncak" bagi peningkatan daya tahan menghadapi kesulitan dan membalikkan kesulitan menjadi bahan bakar yang tak pernah habis untuk bertumbuh dan mencapai inovasi. Steven Covey, penulis buku terkenal, menulis kata pendahuluan di buku tersebut. Kisah Erik juga ditulis dalam majalah Time,Forbes, dan Reader's Digest.

Film Erik yang mendapatkan penghargaan, "Farther Than the Eyes Can See", diberi peringkat "Duapuluh Paling Top"/Top Twenty dalam jajaran film – film petualangan sepanjang masa oleh Men's Journal. Dengan meraih hadiah pertama diantara 19 film dan dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan Emmy, film itu dengan indah menangkap perasaan, humor, dan drama dalam kisah pendakian Erik yang bersejarah, selain meraih tiga gelar serba pertama oleh timnya;

tim pertama yang terdiri dari ayah anak yang sampai di puncak tertinggi, orang paling tua pertama yang sampai di puncak tertinggi, dan tim pertama dengan anggota paling banyak yang sampai di puncak tertinggi. Melalui film ini telah terkumpul dan dibagikan dana sebanyak $ 600.000,- bagi organisasi-organisasi sosial.

Prestasi Erik yang sangat luar biasa telah membuatnya diundang dalam acara-acara TV NBC; Today's Show dan Nightly News, Oprah, Good Morning America, Nightline, dan Tonight Show, untuk menyebutkan beberapa di antaranya.
Wajahnya juga telah menghiasi halaman sampul depan di majalah Time, Outside, dan Climbing Magazine.

Pada tahun 1999 Erik bergabung dengan Mark Wellman, orang lumpuh pertama yang mendaki gunung El Capitan setinggi 3000 kaki, dan bersama Hugh Herr, seorang cacat yang kedua kakinya diamputasi dan merupakan seorang ilmuwan di Harvard Prosthetics Laboratory,* mendaki tebing setinggi 800 kaki di Moab, Utah.

Sebagai akibat keberhasilan mereka bersama, ketiganya membentuk organisasi nirlaba "No Barrier" yang bertujuan mempromosikan gagasan-gagasan dan pendekatan inovatif, serta teknologi yang membantu orang-orang cacat untuk mencapai kehidupan yang luar biasa dengan menyingkirkan segala penghalang dan batas dari kehidupan mereka. Erik juga melayani di National Braille Literacy Champion atas nama *American Foundation for the Blind*.

Karier Erik sebagai pembicara motivasi telah membawanya keliling dunia, mulai dari Hongkong ke Swiss, dari Thailand sampai pertemuan puncak APEC di Chille, selain di seluruh Amerika Serikat. Ia berbicara kepada banyak orang tentang bagaimana meningkatkan daya juang melawan kesulitan (Adversity Quotient), pentingnya tim yang saling terjalin erat, dan bagaimana menghadapi kesulitan sehari-hari untuk mengejar impian anda. Semua pencapaian dan prestasi Erik membuktikan kepada kita semua bahwa orang tidak perlu punya penglihatan yang sempurna untuk mendapatkan visi yang luar biasa.

Reinhold Messner

Reinhold Messner



Reinhold Messner adalah Fenomena
Memuncaki Everest tanpa doping oksigen adalah prestasi lain. Hanya ada segelintir orang yang sanggup melakoni
petualangan berisiko tinggi itu. Tipisnya kadar oksigen menyebabkan para pendaki terpaksa mengandalkan bantuan
tabung oksigen untuk menggapai puncak. Mereka khawatir dengan gangguan kesehatan yang muncul bila nekat tak
memakai tambahan oksigen.
Salah satu kunci kesuksesan Sir Edmund Hillary meraih titik tertinggi dunia: 8.848 meter (29,035 feet) bersama Tenzing
Norgay adalah bantuan tabung oksigen. Sejak awal, tim ekspedisi ini tak mengharamkan pemakaian bantuan doping itu.
Sebab pada ekspedisi yang digelar pada 13 April – 3 Juni 1953 memang bertujuan untuk mengantar orang
pertama yang memuncaki Everest. Sebelumnya, beragam ekspedisi sudah digelar namun selalu berujung dengan
kegagalan.
Pendakian gunung tinggi dunia – terutama di atas 8.000 meter – tanpa bantuan tabung oksigen sempat
menjadi kontroversi. Usaha pertama mencapai puncak Everest tanpa doping tabung oksigen sudah dimulai George
Mallory. Pendaki Inggris ini menolak memakai tabung oksigen saat melakoni ekpedisi kedua tim Inggris pada April
– Juni 1922. Ekspedisi ini gagal mengantarkan para pendaki meraih puncak. Tanpa oksigen, Mallory sanggup
mencapai ketinggian 27.000 feet sedang rekannya yang memakai tabung oksigen hanya meraih 300 feet di atas Mallory.
Mallory merasa aneh saat mendaki Everest dengan bantuan tabung oksigen – meski dengan doping itu ia
mendapat sejumlah keuntungan. Kadar oksigen yang tipis dapat mengganggu kinerja otak sampai menimbulkan
halusinasi. Sayang, Mallory tak berumur panjang. Pada ekspedisi tim Inggris ke Everest yang ketiga kalinya, Mallory
ditemukan tewas bersama Andrew Irvine. Jenazah kedua pendaki itu ditemukan di dekat puncak pada 8 Juni 1924.
Pendakian Kilat
Era tujuh puluhan, wacana pendakian gunung tinggi tanpa oksigen kembali mengemuka. Beberapa pendaki
menyatakan pendakian dapat dibilang sukses bila titik tertinggi itu diraih tanpa bantuan oksigen. Gaya pendakian tanpa
oksigen dilontarkan dua pendaki anyar – pada saat itu: Reinhold Messner dan Peter Habeler.
Mereka begitu bersemangat membuktikan, jiwa olahraga dunia pendakian akan lebih terasa bila dijalani tanpa harus
mengandalkan tabung oksigen yang digendong di punggung. Tahun 1974, Messner dan Habeler memanjat dinding utara
(North Face) Eiger, Prancis hanya dalam waktu 10 jam. Keduanya berpendapat, kecepatan pendakian berbanding lurus
dengan keselamatan diri. Pendakian kilat itu dapat mengurangi ancaman longsor salju (avalanche) dan kemungkinan
ditimpa cuaca buruk. Walhasil, perlengkapan pendakian dihitung dengan amat cermat, sebagai usaha mengurangi
beban.
Sukses pemanjatan Eiger makin menambah semangat mereka. Messner dan Habeler terus memacu program latihan
yang bertujuan akhir: mengantarkan dua manusia tanpa oksigen dalam pendakian gunung 8.000 meter pada 1975.
Latihan yang begitu berat ternyata tak sia-sia. Pasangan pendaki legendaris itu memilih Gasherbum I/Hidden Peak
(8.068 meter/ 26.470 feet) di Pakistan. Dalam rangkaian 14 gunung tinggi dunia, gunung ini berada di urutan ke sebelas
– berdasarkan tinggi puncaknya. Pemuncak pertama adalah Andrew Kaufman dan P. Schoening pada 1958.
Dengan hanya membawa 12 porter untuk mencapai kemah induk (base camp), Messner dan Habeler sukses
menggapai puncak tanpa bantuan oksigen. Hebatnya lagi, mereka pun sukses membuka jalur baru: rute barat laut
(northwest route). Dan ingat, rute baru ini bukan cuma untuk jalan naik tetapi juga sekaligus jalur turun.
Sejarah Baru
Usai pendakian itu, duet handal itu seperti tak sabar menyiapkan petualangan berikutnya. Tekad pun sudah terkepal di
tangan: puncak Everest harus dapat ditembus tanpa bantuan oksigen. Sejarah itu terjadi pada Mei 1978. Messner dan
Habeler mendaki puncak lewat South Col. Mereka mendaki tanpa membawa tenda dan tentu saja, tanpa tabung
oksigen. Tantangan alam yang amat berat, mampu dilewati. Selain latihan yang serius, keduanya punya ikatan yang
kuat sebagai tim pendaki. Tanpa berbicara, mereka terus mendaki menuju puncak. Kadang-kadang, mereka saling
berpandangan, melihat badan dan pikiran masing-masing.
www.daksina.net
http://daksina.net Powered by Joomla! Generated: 17 August, 2008, 11:10
Sebelumnya, Habeler sempat khawatir dengan serangan oksigen tipis di ketinggian yang dapat berakibat kerusakan
otak dan kehilangan memori. Namun, dia dan Messner akhirnya mampu mencapai puncak. Habeler mengaku sangat
letih secara fisik, namun hasrat memuncak yang begitu tinggi mampu mengalahkan segala. Karena takut terkena
kerusakan otak, Habeler turun ke South Col hanya dalam waktu satu jam saja. Ia meluncur dengan kapak esnya.
Kisah petualangan pria kelahiran desa Villnos, Italia Selatan 17 September 1944 tak berhenti sampai di situ. Pada tahun
yang sama, Messner meraih puncak Nanga Parbat (8.125 meter/26.660 feet) tanpa bekal tabung oksigen. Bagi para
pelaku pendakian gunung, prestasi itu seolah tenggelam. Mereka justru penasaran dengan pendakian solo Messner
dalam usaha mencapai puncak gunung yang ada di wilayah Pakistan itu. Ia mencapai puncak nomor sembilan hanya
dalam waktu 12 hari.
Merasa dicuekin, dua tahun kemudian Messner kembali menciptakan sensasi. Pada 18-21 Agustus 1980, Messner
sukses membuat rekor di Everest: mendaki solo dan tanpa tabung oksigen. Ia mulai mendaki sendiri dari advanced base
camp di sisi utara.
Pada hari ketiga – dengan diliputi keletihan, Messner mampu berdiri di titik 8.848 meter itu. Meraih puncak
seorang diri, Messner pun terduduk dan menangis. Hanya itu yang dapat dilakukannya. Saat tiba di kemah, Messner
berucap terbata-bata, ”Saya tak dapat mengulanginya lagi. Saya telah mencapai batas kemampuan saya. Dan
saya merasa bahagia.”
Rekor Messner tak berhenti sampai di situ. Pada 17 Oktober 1986, bersama Hans Kamerlander, Messner menerima
suguhan secangkir kopi panas di kemah induk Lhotse (8.516 meter). Inilah sambutan yang diberikan kawan-kawan
pendaki seusai menjejak puncak nomor empat dunia itu. Sekaligus menobatkan Messner sebagai orang pertama di
muka bumi yang sanggup berdiri di 14 puncak dunia.
Usaha mencapai 14 puncak itu dilakoni Messner selama 16 tahun (1970 – 1986). Ketika menyelesaikan Lhotse
usianya sudah mencapai 42 tahun. Dan ia terus memproduksi rekor-rekor baru dalam petualangan. Pada perayaan 50
tahun Everest diraih Hillary dan Norgay, Messner sempat hadir bersama sang istri. Reinhold Messner memang
fenomena dalam kisah petualangan dunia.